8 PERKARA DITERIMANYA AMAL IBADAH DALAM ISLAM.

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ 
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم 

الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين و على آله وصحبه اجمعين. أما بعد:

TAZKIRAH HARI INI UNTUK RENUNGAN BERSAMA.   
(Vietnam, Selasa 2 Jun 2015).

8 PERKARA DITERIMANYA AMAL IBADAH DALAM ISLAM.

Amal Ibadah seorang hamba Allah SWT akan dapat diterima dan diberi pahala di sisi Allah SWT apabila telah memenuhi 8 syarat utama iaitu :

1. IKHLAS ( اَلإِخْلاَصُ )

Ikhlas merupakan salah satu makna dari syahadat ( أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ) ‘bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah SWT iaitu agar menjadikan ibadah itu murni hanya ditujukan kepada Allah semata - mata. 

Allah SWT berfirman dalam surah al-Bayyinah : 5 :

وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

Ertinya:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama”. (QS. Al Bayyinah : 5).

Dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman dalam surah Az-Zumar ayat 2:

فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ

Ertinya:
“Maka beribadahlah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan (mu) untuk-Nya.” (QS. Az Zumar : 2).

Dalam satu riwayat hadith, bahawasanya Rasulullah SAW bersabda :

إِنَّ اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ لاَ يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ

Ertinya:
“Sesungguhnya Allah SWT tidak menerima suatu amal perbuatan kecuali yang murni dan hanya mengharap ridha Allah SWT”. (HR. Abu Dawud dan Nasa’i).


2. AL-ITTIBA’ ( اَلْاِتِّبَاعُ )

Al-Ittiba’ merupakan amalan yang mengikuti Tuntunan Islam yang diajarkan Rasulullah Muhammad SAW, 

merupakan salah satu dari makna syahadat bahwa Muhammad adalah utusan Allah (أَن َّمُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ), iaitu agar di dalam beribadah harus sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW. 

Setiap ibadah yang diadakan secara baru yang tidak pernah diajarkan atau dilakukan oleh Rasulullah SAW maka ibadah itu tertolak, meskipun pelakunya tadi seorang muslim yang mukhlis (niatnya ikhlas karena Allah SWT dalam beribadah). 

Karena sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkan kepada kita untuk sentiasa mengikuti tuntunan Nabi Muhammad SAW dalam segala hal yang berkait dengan amal ibadah. 

Hal ini sesuai  dengan firman Allah SWT dalam surah : Al Hasyr ayat 7 :

وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

Ertinya:
“Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”.(QS. Al Hasyr : 7).

Iuga disebutkan dalam hadith Rasulullah SAW:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Ertinya:
“Barang siapa melakukan suatu amalan yang tidak ada urusannya dari kami maka amalan itu ditolak”. (HR. Muslim).

Firman Allah SWT dalam Surah Al-Kahfi ayat 110 :

فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Ertinya:
“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya”. (QS. Al-Kahfi : 110).

Jadi kedua syarat inilah yang wajib ada pada setiap amal ibadah yang kita kerjakan dan tidak boleh terpisahkan antara yang satu dan yang lainnya. 

Hal inilah yang selalu terlepas pandang dari perhatian orang ramai karena hanya memperhatikan satu sisi sahaja dan tidak memperhatikan sisi yang lainnya. 

Oleh karena itu selalu kita dengar kebanyakan diantara mereka berkata : “yang penting niatnya baik, kalau niatnya baik maka amalnya pun akan baik”.

Perlu diketahui bahawa sikap ittiba’ (berusaha untuk mengikuti tuntunan Rasulullah Muhammad SAW tidak akan tercapai / terwujud melainkan apabila amal ibadah yang dikerjakan tersebut sesuai dengan syari’at Islam yang diajarkan.

3. SEBAB ( اَلسَّبَبُ )

Jika seseorang melakukan amal ibadah kepada Allah SWT dengan sebab yang tidak di syari’atkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan ditolak. 

Contohnya: 
Ada orang melakukan sholat Tahajjud khusus pada malam 27 Rajab dengan dalih bahwa malam itu adalah malam Israk Mi’rajnya Rasulullah Muhammad SAW. 

Sholat Tahajjud adalah ibadah sholat yang disyariatkan, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tertentu yang tidak ada syari’atnya, maka ia menjadi bid’ah.

4. JENIS ( اَلْجِنْسُ )

Ibadah tersebut mestilah  sesuai dengan syari’at dari sudut jenisnya.

Contohnya: bila seseorang menyembelih burung atau ayam pada hari raya Iedul Adha untuk tujuan Qurban, maka hal ini tidak sah karena jenis yang sah dijadikan untuk korban adalah unta, lembu dan kambing.

5. BILANGAN ( اَلْعَدَدُ )

Kalau ada orang yang menambahkan rakaat sholat yang menurutnya hal itu diperintahkan, maka sholatnya itu adalah bid’ah dan tidak diterima oleh Allah Ta’ala . 

Jadi apabila ada orang yang sholat Dhuhur 5 rakaat atau sholat Shubuh 3 rakaat dengan sengaja maka sholatnya tidak diterima oleh Allah SWT karena tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah Muhammad SAW. 

6. TATA CARA ( اَلْكَيْفِيَّةُ )

Seandainya ada orang berwudhu dengan membasuh kaki terlebih dahulu baru kemudian muka, maka wudhunya tidak sah karena tidak sesuai dengan tata cara yang telah disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya di dalam Al-Qur’an  dan Al-Hadits.

7. WAKTU ( اَلزَّمَانُ )

Apabila ada orang yang menyembelih korban sebelum sholat hari raya Idul Adha atau mengeluarkan zakat Fitri sesudah sholat hari raya Idul Fitri, atau melaksanakan shalat fardhu sebelum masuk atau sesudah keluar waktunya, maka penyembelihan hewan korban dan zakat Fitrinya serta shalatnya tidak sah karena tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan oleh syari’at Islam, iaitu menyembelih hewan korban dimulai sesudah shalat hari raya Idul Adha hingga sebelum matahari terbenam pada tanggal 13 Dzul Hijjah (hari Tasyriq ketiga), dan mengeluarkan zakat Fitri sebelum dilaksanakannya sholat Idul Fitri.

8. TEMPAT ( اَلْمَكَانُ )

Apabila ada orang yang menunaikan ibadah haji di tempat selain Baitulah Masjidil Haram di Mekah, atau melakukan i’tikaf di tempat selain masjid (seperti di pekuburan, gua, dan lain-lain), maka tidak sah haji dan i’tikafnya. 

Sebab tempat untuk melaksanakan ibadah haji adalah di Masjidil Haram saja, dan ibadah i’tikaf tempatnya hanya di dalam masjid.

Dengan memahami  perkara tersebut, maka kita dapat  mengoreksi apakah amal ibadah yang kita lakukan sudah sesuai dengan syariat Allah Ta’ala dan Rasul-Nya atau tidak?

Demikian pembahasan ringkas tentang syarat-syarat utama diterimanya amal ibadah kita disisi Allah Allah SWT. serta dijauhkan dari perbuatan bid'ah serta terjerumus pada kesesatan dalam beramal ibadah.

Namun demikian jika terdapat perbezaan pendapat ulama diantara mereka mengemukakan hujjah yang berbeza, maka tidaklah termasuk ke dalam kategori ini. 

Oleh kerana itu jika terdapat perselisihan pendapat dalam masalah furu'iyyah syar'iyyah, maka Sama-sama lah kita untuk saling menghargai perbezaan pendapat antara kita. Jangan terlalu mudah membid'ahkan bahkan menyesatkan saudara seIslam hanya kerana perbezaan pendapat dalam pengambilan dalil. 

Semoga ulasan ringkas yang disampaikan dapat bermanfaat bagi kita semua di dunia dan akhirat. Dan mudah-mudahan amal ibadah kita diterima oleh Allah SWT sebagai bentuk amal sholeh kita disisi-Nya.  Aamiinn…Aamiinn Yaa Robbal 'Aalamiin !!!!!

Wallahu A'lam. 
Doakan istiqamah serta Sehat wal Afiat. 
Wassalam USM. (Ustaz Sihabuddin Muhaemin).

Catatan:
ILMU ITU MILIK ALLAH SWT UNTUK DISEBARKAN. 
Sila KONGSIKAN Dengan Sesama SAUDARA  KITA. 
Mudah-Mudahan bermanfaat Untuk Semua.
Di Dunia Dan Di Akhirat Nanti. Insya-Allah. Aamiinn !!!!!

Kritik Dan Saran Yang Membina Sangat Dialu-alukan. 
Sila tlp/sms kami, USM (012-6653988). 
Atau layari laman facebook:
http://www.facebook.com:
USM - Sihabuddin Muhaemin.

TERIMA KASIH.  
(Shah Alam, Selasa 15 Sya'ban 1436 H).