7 CARA BIJAK MENGHADAPI PERBEZAAN

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ 
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم 

الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين و على آله وصحبه اجمعين. أما بعد:

TAZKIRAH HARI INI UNTUK RENUNGAN BERSAMA.   
(Shah Alam, Selasa 19 Mei 2015).
7 CARA BIJAK MENGHADAPI PERBEZAAN.

Sesungguhnya perbedaan pendapat itu hal yang biasa dalam kehidupan. Di antara Suami-Istri, Adik beradik, para Ulama Mazhab seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’ie, dan Imam Hambali pun biasa terjadi perbedaan pendapat. 

Jika kita saling menghormati, niscaya perbedaan pendapat itu akan jadi rahmat. Kita dapat hidup aman damai. Tapi jika tidak mampu menerima perbezaan, bahkan saling mencaci-maki pihak lain, yang akan terjadi adalah pertengkaran, perbalahan, perceraian, bahkan peperangan.

Bagaimana cara yang Islam ajarkan dalam menghadapi perbedaan?

Diceritakan bahawa Umar ibn Khattab pernah memarahi Hisyam ibn Hakim yang membaca Surat Al-Furqan dengan bacaan berbeza dari yang diajarkan Rasulullah SAW kepada Umar. 

Setelah Hisyam menerangkan bahwa Rasulullah SAW sendiri yang mengajarkan bacaan itu, mereka berdua menghadap Rasulullah SAW untuk meminta konfirmasi. Rasulullah SAW membenarkan kedua sahabat beliau itu dan menjelaskan bahwa Al-Qur’an memang diturunkan Allah SWT dengan beberapa variasi bacaan (7 bacaan). “Faqra’uu maa tayassara minhu,” sabda Rasulullah SAW “maka bacalah mana yang engkau anggap mudah dari padanya.” (HR. Bukhari).

Rasulullah SAW bersabda pada peristiwa perang Ahzab:

لاَ يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلاَّ فِي بَنِي قُرَيْظَةَ. فَأَدْرَكَ بَعْضُهُمُ الْعَصْرَ فِي الطَّرِيْقِ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: لاَ نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا. وَقَالَ بَعْضُهُمْ: بَلْ نُصَلِّي، لَمْ يُرِدْ مِنَّا ذَلِكَ. فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ

Ertinya:
"Janganlah ada satupun yang shalat ‘Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” Lalu ada di antara mereka mendapati waktu ‘Ashar sudah masuk, maka berkatalah sebahagian mereka: “Kita tidak shalat sampai tiba di sana.” Yang lain mengatakan: “Bahkan kita shalat saat ini juga. Bukan itu yang beliau inginkan dari kita.” Kemudian hal itu disampaikan kepada Rasulullah SAW namun beliau tidak mencela salah satunya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sekali lagi Nabi tidak mencela salah satu pihak yang berlawanan pendapat itu dengan kata-kata bid’ah, sesat, kafir, dan sebagainya. Beliau bahkan tidak mencela salah satunya. 

Masing-masing pihak mempunyai alasan masing-masing,  yang shalat Ashar di tengah jalan bukan ingkar kepada Nabi. Namun mereka mencoba sholat di awal waktu sebagaimana yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. 

Yang shalat  di perkampungan Bani Quraizah juga bukan melanggar perintah sholat di awal waktu. Namun mereka mengikuti perintah Nabi di atas.

Dari Sa’id bin Musayyab, ia berkata, “Suatu ketika Umar berjalan kemudian bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang sedang melantunkan syair di masjid. Umar menegur Hassan, namun Hassan menjawab, ‘aku telah melantunkan syair di masjid yang di dalamnya ada seorang yang lebih mulia darimu (Nabi Muhammad).’ Kemudian ia menoleh kepada Abu Hurairah. Hassan melanjutkan perkataannya. ‘Bukankah engkau telah mendengarkan sabda Rasulullah SAW, jawablah pertanyaanku, ya Allah mudah-mudahan Engkau menguatkannya dengan Ruh al-Qudus.’ 
Abu Hurairah lalu menjawab, ‘Ya Allah, benar (aku telah medengarnya).’ ” (HR. Abu Dawud,  an-Nasa’i dan Ahmad).

Lihat saat Hassan Bin Tsabit sang penyair tengah melantunkan syair yang memuji-muji Allah dan RasulNya di Masjid sebelum waktu sholat, Nabi Muhammad tidak melarang atau mencelanya. Beliau bahkan diam mendengarkannya.

Berbeza  dengan sekelompok orang yang memvonis bid’ah terhadap orang-orang yang berdzikir atau bersholawat sebelum waktu sholat dengan dalil Nabi Muhammad tidak pernah melakukannya.

 Sememangnya apa yang diperbuat Hassan Bin Tsabit, yaitu bersyair di Masjid sebelum waktu sholat itu pernah dilakukan oleh Nabi? 

Meski Nabi tidak melakukannya, namun beliau tidak mencaci dengan kata-kata buruk seperti Bid’ah, sesat, dan sebagainya. Bersyair saja dibolehkan oleh Nabi, apalagi kalau berdzikir atau bersholawat.

Saat berbeda pun dalam berpuasa di perjalanan para sahabat tidak saling mencela. Ada yang berbuka, ada pula yang tetap berpuasa:

Anas bin Maalik berkata: “Kami sedang bermusafir bersama dengan Rasulullah SAW ketika bulan Ramadhan dan di kalangan kami ada yang berpuasa, ada yang tidak berpuasa. Golongan yang berpuasa tidak menyalahkan orang yang tidak berpuasa dan golongan yang tidak berpuasa tidak menyalahkan orang yang berpuasa. (HR. Bukhari and Muslim).

Perbedaan itu akan selalu ada. Namun sayangnya sebahagian kelompok ekstrim yang menafikan adanya perbedaan tersebut. Orang yang berbeda pendapat dengan mereka terus disebut sebagai Ahlul Bid’ah, Musyrik, Kuffar, dan sebagainya. 

Jelas orang yang suka mencaci tersebut tidak membaca dan memahami Al Qur’an dan Hadits secara keseluruhan. Cuma sepotong-sepotong sehingga akhirnya pemikirannya menjadi ekstrim/sempit serta memecah-belah persatuan ummat Islam karena kejahilannya.

Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Humazah, ayat 1:

وَيْلٌ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍ

Ertinya:
Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela (QS Al-Humazah: 1).

Berdasarkan contoh-contoh di atas, Nabi dan para Sahabat begitu toleransi dalam perbezaan selama ianya tidak terpesong dari syariat Islam yang sebenar.

Allah SWT berfirman Surah Al-An'aam, ayat 153:

وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Ertinya:
“Dan (katakanlah): ‘Sesungguhnya inilah jalanku yang lurus maka ikutilah dia. Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa.” (QS.  Al-An’am 153).

Perbezaan pendapat tidak hanya berlaku dalam masalah hukum sahaja. Juga boleh berlaku dalam masalah tafsir, ulumul qur’an, syarh hadits, ulumul hadits, tauhid, usul fiqh, qawa’id fiqhiyah, maqashidus syariah, dan lain-lain.

Imam Madzhab seperti Imam Malik, Imam Syafi’ie, Imam Hanafie, dan Imam Hambali juga berbeza pendapat. Namun mereka tidak saling membid’ah atau menganggap sesat pada yang lain. Begitu pula para pengikutnya.

Dalam khazanah Islam, para ulama salafus sholeh dikenal dengan sikap kedewasaan, toleransi, dan objektivitasnya yang tinggi dalam menyikapi perbezaan pendapat. 

Ucapan Imam Syafi’i yang sangat masyhur sebagi bentuk penghormatan perbedaan pada pihak lain adalah: 

“Pendapatku benar, tapi memiliki kemungkinan untuk salah. Sedangkan pendapat orang lain salah, tapi memiliki kemungkinan untuk benar.”

Karena itu, Islam memberi arahan dan panduan tentang bagaimana cara menghadapi perbedaan pendapat di antara, sesama kita? 

Di bawah ini adalah adab-adab yang seharusnya dilakukan kaum Muslim dalam menghadapi perbezaan pendapat, diantaranya:

1. Ikhlas dan Lepaskan Diri dari hawa Nafsu.

Kewajiban setiap orang yang bergelut dalam dunia ilmu dan dakwah adalah melepaskan diri dari hawa nafsu tatkala mengupas masalah-masalah agama dan syariah. 

Mereka hendaknya tidak terdorong kecintaan mencari ketenaran serta menonjolkan dan memenangkan diri sendiri. 

Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits, Rasulullah bersabda: 

"orang yang mencari ilmu karena hendak mendebat para ulama, merendahkan orang-orang yang bodoh, atau untuk mengalihkan perhatian manusia pada dirinya, maka dia tidak akan mencium bau surga (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).

2. Kembalikan perbezaan tersebut kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW.

Ketika terjadi perbedaan pendapat, hendaklah dikembalikan pada Kitabullah dan Sunnah Rasul. Keduanya dijadikan sebagai ukuran hukum dari setiap pendapat dan pemikiran. 

Allah SWT berfirman dalam Surah An-Nisa, ayat 59:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Ertinya:
"Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisaa’: 59).

3. Tidak saling Memburukkan. 

Masing-masing tetap mempunyai hak yang tidak dapat dilanggar, hanya karena tidak sependapat dalam suatu masalah. 

Di antara haknya adalah nama baik (kehormatan) yang tidak boleh dinodai, meski perdebatan atau perbedaan pendapat semakin meruncing. Sifat pribadi seperti itu tidak boleh dimasukkan dalam tajuk perbezaan tersebut.

4. Berbalah dengan cara yang Baik

Allah SWT berfirman dalam Surah An-Nahl, Ayat 125:

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Ertinya:
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl: 125).

Berdialog harus dengan cara yang baik,  akan mendapatkan simpati dan lawan agar dapat mendengarkan kebenaran yang dibawa. 

Cara seperti ini terhindar dari sikap yang keras dan kaku, jauh dari perkataan yang menyakitkan dan mengundang kemarahan orang lain. 

Penyeru kebenaran adalah orang yang mementingkan dakwah, bukan kepentingan pribadi. Jika bersikap keras dan kaku, berarti telah mementingkan nafsu pribadi sehinggakan orang menjauh dari dakwahnya.

5. Mendalami Nash Syari' dan Pendapat Ulama.

Agar dapat keluar dari khilaf dengan membawa hukum yang benar, maka semua nash syariah yang berkaitan dengan masalah itu harus dihimpun. 

Dengan demikian, persoalan yang umum dapat dijelaskan dengan yang khusus, yang global dapat diperjelas dengan yang terinci, serta yang kiasan dapat dijelaskan dengan yang detail. 

6. Bezakan antara Masalah yang Sudah Di-Ijma’ kan oleh ulama dan yang Diperselisihkan ulama.

Masalah-masalah yang sudah di-ijma’ (disepakati ulama) sudah tidak perlu lagi diperdebatkan dan dipertanyakan. Komitmen kepadanya merupakan keharusan agama. seperti halnya terhadap Al-Qur’an dan Hadits.

7. Pertimbangkan Tujuan dan Akibatnya. 

Orang yang mencari kebenaran kemudian salah, berbeda dengan orang yang memang sengaja mencari kebatilan lalu dia mendapatkannya. 

Oleh karena itu, Allah SWT tetap memberikan satu pahala bagi hakim yang memutuskan perkara hukum, namun salah, karena niat dan keinginannya untuk mendapatkan kebenaran. 

Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Baqarah, ayat 286:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ 

Ertinya:
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya". (QS. Al-Baqarah: 286).

Sememangnya Allah SWT memerintahkan kita untuk bersatu. Jika berselisih tentang sesuatu, hendaknya kita kembali pada Al Qur’an dan Hadits. Para ulama hendaknya melakukan Ijma’ untuk memutuskan hal yang diperselisihkan.

Namun jika terjadi perbedaan pendapat juga akibat beda dalam menafsirkan Al Qur’an dan Hadits, hendaknya tidak saling cela/hina karena itu diharamkan Allah SWT. Sebab kadang perbedaan tak bisa dihindarkan. 

Jika kita karena perbedaan tersebut mencela sesama Muslim dengan sebutan Ahlul Bid’ah, Sesat, Kuffar, Musyrik, dan sebagainya. Sementara Jumhur Ulama tidak berpendapat demikian, maka kitalah yang sebenarnya sesat.

Ya Allah jauhkan diri kami dari amalan yang akan memesongkan hidup kami, serta hindarkan kaki dari saling menyesatkan terhadap saudara seagama dengan kami. Mudah-mudahan kaki dapat hidup rukun dan aman damai dengan perbezaan yang ada. Aamiinn Yaa Robbal 'Aalamiin !!!!!

Wallahu A'lam. 
Doakan istiqamah serta Sehat wal Afiat. 
Wassalam USM. (Ustaz Sihabuddin Muhaemin).

Catatan:
ILMU ITU MILIK ALLAH SWT UNTUK DISEBARKAN. 
Sila KONGSIKAN Dengan Sesama SAUDARA  KITA. 
Mudah-Mudahan bermanfaat Untuk Semua.
Di Dunia Dan Di Akhirat Nanti. Insya-Allah. Aamiinn !!!!!

Kritik Dan Saran Yang Membina Sangat Dialu-alukan. 
Sila tlp/sms kami, USM (012-6653988). 
Atau layari laman facebook:
http://www.facebook.com:
USM - Sihabuddin Muhaemin.

TERIMA KASIH.   
(Shah Alam, Selasa 1 Sya'ban 1436 H).